Walau usia sudah mencapai 72 tahun, Ayub S. Parnata seakan tak pernah kehilangan semangat. Di tengah kesibukannya mengurus anggrek, setiap bulannya ia rutin mengirim minimal 2 kontainer pupuk organik ke Cina. Jumlah itu masih ditambah dengan ½ kontainer untuk melayani permintaan dalam negri. Kalau dihitung-hitung, sekitar 64 ton pupuk cair disalurkan tiap bulan. Bersama mitra kerja asal Hongkong, Ayub mempunyai pabrik peracikan pupuk di Cina Selatan. Di sana, biang pupuk organik yang dibuat di Indonesia diubah menjadi pupuk siap pakai. Lalu dieskpor kembali ke beberapa negara di Asia, Australia dan Amerika Serikat. Di Asia, pelanggannya datang dari Filipina, Thailand, Malaysia, Vietnam dan Mongolia. Permintaan konsumen terus meningkat. Peningkatan 100% per tahun untuk pasaran luar negri dan 20% dalam negri.
Keberhasilan itu bukan datang sendiri layaknya bintang jatuh. Kisahnya dimulai 1960. Saat itu, Ayub mencoba bercocok tanam jagung. Sayang produksinya amat minim, tidak sampai 750 kg/ha. Kenyataan ini menggelitik lulusan Hogere Burgerschool itu untuk meneliti penyebabnya. Hasil pengamatannya menunjukkan, penyebab produksi minim karena efek samping penggunaan kimia dari pupuk yang tidak terserap efektif oleh tanaman sehingga hanya tersimpan di dalam tanah. Untuk menguraikan lagi, harus dengan bantuan jasad renik. Dari hasil analisis, diketahui pada tanah subur selalu ditemukan Pseudomonas putida dan Pseudomonas fluorescens. Dua jasad renik itulah yang harus didapatkan untuk dimasukkan ke tanah yang rusak. Pencarian jenis jasad renik itulah yang memakan waktu lama. Mencari di alam hingga membiakkan dengan media agar (jel) bukanlah proses mudah. “Seperti orang buta yang mencari-cari, tanpa ada satu buku pun yang menuntun”, ujar Ayub melukiskan betapa sulitnya pencarian itu.
Setelah jasad renik berhasil dibiakkan, menentukan formulasi pupuk yang tepat tidak semudah membalikkan telapak tangan. Berbagai komposisi dicoba dan hasilnya kebanyakan gagal. Misal ketika diujicobakan ke suatu lahan padi, bukannya menjadi subur, tanaman malah hangus terbakar. Begitu pun ketika diuji pada bunga kesayangan, anggrek. Si cantik eksklusif itu daunnya berguguran satu-per satu.
Mirip Thomas Alva Edison yang tak pernah berhenti meneliti sampai berhasil, Ayub tidak berputus asa terhadap kegagalan yang ditemui. Penyilang 10.100 anggrek itu terus mencari jalan untuk memperbaiki penemuannya. Kerja kerasnya baru terbayar setelah berkutat 17 tahun. Ayub menemukan campuran pupuk yang tepat. Ramuan terbuat dari bahan-bahan organik dan mikroba-mikroba menguntungkan. Pertama kali dicobakan pada lahan jagung, hasilnya menakjubkan. Produksi yang semula hanya 600 kg/ha, meningkat pesat menjadi 8,5 ton. Tak heran jika Menteri Pertanian waktu itu tertarik berkunjung ke perkebunannya.
Ayub pun kian semangat meracik pupuk dari bahan-bahan organik yang mudah didapat dan berharga murah. Ikan laut, daging apkir atau limbah hewan digunakan. Bahan baku itu diperoleh dari daerah pesisir. Bila kekurangan, ia mengimpor dari Cili dan Denmark. Investasi yang dikeluarkan tidak main-main. Empat rumah miliknya direlakan dijual untuk melengkapi sarana produksi.
Namun rupanya perjuangan belum usai. Memasuki awal 90-an, Ayub mencoba untuk memasarkan produk bermerk Top Soil Fertilizer di Jawa Barat. Diharapkan pupuk itu bisa membantu para pekebun di sana untuk meningkatkan produksi. Namun pil pahit harus ditelan ketika niatan itu terbentur urusan perizinan. Maklum, waktu itu pupuk organik memang belum populer. Pupuk kimia yang jadi primadona. Ia pun urung memasarkan di dalam negri.
Kegagalannya tak membuatnya berhenti berkarya. Berbekal keyakinan bahwa pupuk organik memiliki keistimewaan, pasar luar negri pun dijajaki. Bersama rekan kerja di Hongkong, ia memilih Cina sebagai sasaran pertama. Pertimbangannya, sebagai negara berpenduduk terbesar di dunia, peluang pasar terbuka lebar. Izin peredaran diperoleh dari Beijing University.
Ternyata sambutan penduduk di negri tirai bambu itu luar biasa. Malah pria yang gemar berkemeja batik ini mendapat tawaran maha berat. Ia diminta bekerja sama dengan para pakar di Universitas Beijing untuk mengembangkan formula. Bila diterima, rakyat Cina-lah yang menikmati penemuannya. Rasa nasionalismenya menuntun Ayub menolak tawaran itu.
Tahun pertama sejak mendapat izin ekspor pada 1991, ia mengirim 10 kontainer biang pupuk ke pabrik perakitan di Cina. Di sana biang itu diencerkan sampai 5% sebelum dipasarkan. Volume pengiriman terus meningkat dari waktu ke waktu hingga 100% pada 2003.
Pertengahan 1995, pabrik perakitan itu kedatangan tamu kehormatan, Menteri Pertanian Thailand. Rupanya pupuk organik karya Ayub berhasil mengatasi penyakit busuk buah dan busuk akar pada durian akibat pengaruh kimia. Setahun berikutnya, giliran Menteri Pertanian Malaysia datang. Lagi-lagi berkat hasil spektakuler pemanfaatan pupuk organik itu di perkebunan karet di Malaysia. Karet terus menghasilkan getah meski telah 20 tahun berproduksi.
Kegagalan memperoleh perizinan usaha di dalam negri 8 tahun silam tak membuatnya jera. Uji coba yang dilakukan selama 2 bulan oleh Balai Penelitian Sayuran (Balitsa) di Lembang, Bandung, menunjukkan hasil memuaskan. Perjuangan itu akhirnya berbuah dikeluarkannya izin dari pemerintah Indonesia melalui Departemen Pertanian pada 1999.
Pasa di dalam negri mulai dirambah. Melalui agen di Yogyakarta dan Sumedang, pupuknya menyebar hampir ke seluruh wilayah Indonesia. Di antaranya, Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi. Kerjasama dengan Pusat Koperasi Veteran (Puskoveri) Jawa Barat dalam memasarkan pun terus dibina.
Untuk memenuhi permintaan dalam dan luar negri, rumah sang kakek yang berlokasi di Jalan Jenderal Sudirman, Bandung, dijadikan pabrik. Semua bahan baku dan alat-alat produksi menempati belasan ruangan di dalamnya. Di situlah Ayub membuat formula pupuk pesanan para relasi dibantu tiga orang rekannya. Pupuk berbentuk cair lebih dipilih Ayub karena dalam bentuk itu jasad renik mampu bertahan hidup hingga ratusan tahun. Sebaliknya, dalam bentuk padat, fungsi jasad renik berkurang, bahkan mati.
Pupuk organik Ayub tidak hanya meningkatkan produksi tumbuhan. Tanpa mengubah komposisinya, ia bisa diterapkan pada ternak, ikan atau udang. Penelitian di Universitas Gadjah Mada pada 2002 menunjukkan, pupuk itu efektif memberantas newcastle disease (ND) pada ayam. Penelitian ini juga mengungkapkan peningkatan keuntungan peternak dari Rp 400.000,- / ekor menjadi Rp 1.750.000,- / ekor.
Kontribusinya di dunia anggrek yang lama Ayub geluti pun tak kalah besar. Phalaenopsis miliknya bisa menghasilkan 17 tangkai bunga per satu tanaman. Buah dari semua itu, penghargaan sebagai mitra kerja berprestasi Dinas Pertanian Jawa Barat dari Menteri Pertanian RI diterimanya pada 2002. Meski demikian, bukan itu semata yang ia kejar. Dampak positif pemanfaatan pupuk organik dalam dunia pertanian Indonesia menjadi terminalnya. Bagi Ayub, prospek cerah pupuk organik membentang di masa mendatang.(Prita Windyastuti)
Sumber: Majalah Trubus
1 komentar:
Alhamdulillah semoga penemuannya bermanfaat...sebentar lagi harga pupuk anorganik juga akan naik lagi...semoga itu malah memacu untuk segera kembali ke yang alami...
Posting Komentar