Dr. Dani Hilman Natawijaya menemukan teori berdasar penelitiannya yaitu ada hubungan antara pertumbuhan terumbu karang yang hidup di pantai-pantai barat Sumatera dengan siklus kegempaan. Bentuk-bentuk terumbu karang dan umurnya menjadi indikator adanya siklus gempa dan gelombang tsunami.
INDONESIA dikenal sebagai negeri kaya bencana gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung berapi. Meletusnya Gunung Krakatau di Selat Sunda pada 27 Agustus 1883 menjadi sejarah bencana yang tergolong terbesar di dunia.
Gempa di Aceh pada 26 Desember 2004 juga membuktikan ancaman alam yang tetap besar. Tsunami yang diakibatkan gempa berskala 8,7 pada skala Richter di barat Aceh dan oleh dua gempa besar di Kepulauan Nicobar dan Andaman, India, yang terjadi dalam selang waktu dua jam kemudian menewaskan sekitar 150.000 penduduk di kawasan Asia Tenggara dan Asia Selatan.
Ironisnya, tidak banyak penduduk di negeri ini yang tergugah meneliti apa yang terjadi di balik gempa dan tsunami itu. Boleh dibilang hanya ada satu pakar yang menguasai geologi gempa bumi (earthquake geologist): Dr Danny Hilman Natawijaya (43), peneliti di Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Danny muncul bagai meteor di tengah masyarakat yang tak mengenalnya. Namun di kalangan peneliti geologi dan geofisika di Indonesia dan dunia sesungguhnya, ia telah diakui sebagai ahli gempa tektonik Sumatera. Danny yang menamatkan doktornya di California Intitute of Technology dikenal dunia paling tidak lewat jurnal profesi geofisika paling bergengsi di tingkat internasional, yaitu Journal of Geophisical Research. Di jurnal itu makalahnya NeoTectonics of Sumatera Fault terbit tahun 2000 dan pada tahun 2004 di jurnal yang sama muncul karyanya yang berjudul Paleo Geodesy of the Sumatera Subduction Zone.
Makalah itu merupakan hasil penelitian Danny dan Prof Dr Kerry Sieh, pembimbing doktornya di California Intitute of Technology. Dua karyanya itu kemudian menjadi referensi dan acuan para peneliti geotektonik lain di dunia. Pada berbagai kesempatan di forum ilmiah sejak tahun 2000, Danny selalu melontarkan prediksinya bahwa gempa besar akan muncul di pesisir barat Pulau Sumatera. Di lingkup nasional hal itu antara lain dikemukakannya pada seminar tentang pembangunan Selat Sunda di Geoteknologi LIPI Bandung dan pembangunan jembatan Jawa-Sumatera di ITB, masing-masing pada tahun 2000 dan 2003. Ia juga mengungkapkan hal yang sama pada Seminar tentang Tsunami Disaster di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Jakarta awal tahun 2004.
Ketika itu ia mengatakan pembangunan di selat tersebut, terutama dikaitkan dengan rencana pembangunan jembatan Jawa-Sumatera, selain harus dikaitkan dengan ancaman kegempaan akibat aktivitas Gunung Krakatau juga harus memperhitungkan ancaman gempa tektonik di barat Sumatera, terutama yang bakal terjadi di Kepulauan Mentawai, berjarak hanya beberapa puluh kilometer dari Padang dan Bengkulu.
Catatan sejarah gempa di Mentawai menyebutkan, kepulauan ini pada tahun 1833 pernah diguncang gempa berkekuatan 9 pada skala Richter. Periode pengulangan gempa di wilayah ini menurut penelitian yang dilakukannya selama hampir 10 tahun lalu memiliki periode pengulangan sekitar 200 tahun.
Bila wilayah tersebut sampai terguncang gempa besar lagi, maka daerah yang akan terkena dampaknya bukan hanya Padang dan Bengkulu tapi juga Singapura dan Jakarta, yang masing-masing berjarak lebih kurang 300 km dan 600 km dari sumber gempa itu. Dua kota besar ini daratannya terdiri dari tanah aluvial, hasil sedimentasi, dan reklamasi. Adanya gelombang besar yang merambat sampai di lapisan tanah ini dapat menjadi besar atau teramplifikasi, memberi dampak yang parah.
Bahaya tsunami juga mengancam Padang dan Bengkulu di masa mendatang. Gempa yang berpusat di sekitar Mentawai akan menimbulkan tsunami yang bakal menerjang ibu kota Sumatera Barat itu dalam waktu 10 menit setelah gempa terjadi. Ancaman gempa besar dan tsunami di pantai barat Sumatera ini, menurutnya bukan hanya datang dari Pulau-pulau Pagai Utara dan Pagai Selatan, tapi juga pulau lain di gugusan Kepulauan Mentawai, yaitu Pulau Sipora yang terguncang gempa tahun 1600-an dan Siberut tahun 1797. “Sejak itu keduanya tertidur panjang untuk menghimpun kekuatan. Saat ini kondisi keduanya sudah cukup ‘matang’ untuk sewaktu-waktu mengadakan serangan kembali,” ulasnya.
Artinya, proses pengumpulan energi di dua pulau itu sudah cukup besar yang mampu ditahan oleh struktur geologi di bawahnya. Kondisi ini diibaratkan seseorang menekan pegas ulir secara mendatar dari satu sisi. Bila dia tidak kuat lagi menekan pegas itu, maka ia akan terdorong ke belakang dan pegas akan meregang kembali ke posisi semula. Ketika terjadi gempa berkekuatan 7,6 pada sekala Richter (SR) di Pulau Simelue tahun 2002, Danny sebenarnya sudah mencemaskan guncangan itu akan memicu sistem kegempaan di pulau-pulau yang berada di sebelah selatannya seperti Pulau Nias yang pernah dilanda guncangan berkekuatan 8,5 SR pada tahun 1861.
Hal itu disebabkan karena gempa di Simelue merupakan pragempa yang akan menaikkan tekanan blok di sebelahnya. Ibaratnya pulau-pulau itu bekerja sama dan berbicara satu sama lain. Ketika satu blok terkena gempa ada daerah antara blok sebelahnya yang tegang atau mengalami shadow stress.
Namun yang terjadi dua tahun kemudian, gempa Simelue itu justru memicu bagian lempeng di utaranya yang mengakibatkan kehancuran di Meulaboh dan Banda Aceh. Hal itu bisa dimengerti karena dorongan lempeng Indo-Australia dari arah selatan terhadap lempeng Eurasia di utara menyerong ke arah barat laut, mengarah ke Teluk Andaman. Diakui Danny, selama ini penelitian gempa di Simelue dan pantai barat NAD tidak dilakukan karena kendala faktor politis dan keamanan.
Bagaimana Danny dapat mengetahui pola-pola gempa di kawasan perairan barat Sumatera?
Hal ini berkat penelitiannya yang panjang di wilayah tersebut sejak 1995 hingga kini. Bekerja sama dengan Kerry Sieh yang juga bekerja untuk Caltech Tectonic Observatory, ia meneliti pergerakan lempeng dengan memasang antena Global Positioning System (GPS) di pulau-pulau itu dan pantai Sumatera Barat. Sejarah kegempaan diketahui lewat penelitian terumbu karang yang tersebar di wilayah pesisir provinsi itu. Dari bentuk-bentuk karang mikroatol yang menyerupai topi koboi, dikeahui pesisir barat Sumatera pernah mengalami proses naik dan turun dalam periode ratusan tahun lalu.
Naiknya permukaan dasar pesisir itu karena desakan lempeng Indo-Australia, sedangkan penurunannya akibat gempa tektonik. Dengan meneliti bentuk dan struktur lapisan karang itu dapat diketahui Kepulauan Mentawai pernah dilanda gempa besar pada tahun 300-an, 1360, dan 1610. Selama mengalami proses penekanan oleh lempeng, pulau-pulau kecil itu bergerak mendekat ke Sumatera.
Namun kala terjadi gempa tektonik yang menyebabkan energi yang menekan itu lepas, maka pada saat bersamaan pulau-pulau yang tertekan dan mendekat ke pulau Sumatera itu terlempar menjauh ke posisi semula. Hal ini dapat diketahui berdasarkan data dari sensor GPS, yang menunjukkan jarak antarpulau itu dari waktu ke waktu. Ketika proses penekanan oleh lempeng samudera Indo-Australia yang berada di bawah Samudera Hindia berlangsung selama puluhan hingga ratusan tahun, pulau-pulau itu akan cenderung menurun 2-3 meter sedangkan pantai barat Sumatera naik 2-3 meter oleh desakan lempeng.
Saat terjadi gempa Aceh awal tahun 2008 , ia memperkirakan Pulau Simelue naik dua sampai tiga meter sedangkan daratan di pantai Meulaboh sebaliknya, turun sekitar satu hingga dua meter. Kenaikan daratan Simelue itulah yang menyebabkan dampak tsunami tidak terlalu berat dibandingkan Meulaboh yang mengalami penurunan. Dalam masa 200 tahun ke depan, Danny memperkirakan daratan Simelue akan kembali turun perlahan, sedangkan pantai Meulaboh kembali terangkat. Danny bisa mengatakan begitu karena kegempaan dan proses pergerakan geologi di sepanjang pantai barat Sumatera itu yang terdiri dari blok Simelue hingga blok Enggano memiliki pola pergerakan yang sama.
Penelitiannya di Kepulauan Mentawai yang terdiri dari Pulau Pagai, Siberut, dan Sipora, serta Kepulauan Batu, menunjukkan periode ulang gempa masing-masing pulau yang berada di pesisir Kota Padang itu berjangka sekitar 200-300 tahun. Periode gempa pulau-pulau itu diperkirakan tidak berbeda jauh, namun kejadian gempanya berbeda. Sebagai contoh gempa berskala magnitudo 9 (atau hampir mencapai 9 SR) pernah mengguncang Pulau Pagai pada tahun 1833.
Dengan mengacu periode pengulangan itu, maka diperkirakan gempa di Pulau Pagai akan terjadi lagi sekitar tahun 2033, atau 28 tahun mendatang. Namun pulau tetangga Pagai mungkin saja akan lebih dulu bergoyang, Pulau Sipora misalnya menurut hitungan akan kembali meletus sekitar 1997. Selama ini memang belum ada peneliti yang dapat memprediksi gempa secara tepat. Namun perhitungan ini dapat menjadi pertanda untuk bersiaga selama beberapa tahun kedepan.
Setelah gempa Aceh apa yang akan Danny lakukan?
Bersama tim dari Puslit Geoteknologi LIPI dan Caltech AS Danny akan terbang ke Padang kemudian menyeberang dengan helikopter dan boat untuk mengambil rekaman data pada GPS di kepulauan Mentawai, yang akan menunjukkan pergerakan muka bumi dan potensi gempa di selatan pesisir barat Sumatera. Menurut Danny, hingga kini telah ada 14 antena GPS terpasang di beberapa tempat termasuk di pulau-pulau di barat Sumatera. Pemasangan peralatan itu memerlukan pendekatan pada masyarakat agar mereka turut menjaganya.
Dalam survei selama 10 hari, tim juga akan meninjau Nias, Simelue, Meulaboh, dan Banda Aceh. Kunjungan ke empat daerah itu untuk membuktikan hipotesa tentang kenaikan dan penurunan daratan pascagempa. Dalam penelitian gempa tektonik di pesisir barat Sumatera, LIPI akan meneruskan kerja sama dengan Caltech sampai 10 tahun mendatang.
Dengan kejadian gempa yang menimbulkan kerusakan hebat di Meulaboh dan Banda Aceh, pembangunan infrastruktur penting seperti pelabuhan seharusnya tidak lagi didirikan di daerah yang sama. Lokasi tersebut akan terancam tenggelam pada periode pengulangan gempa beberapa ratus tahun kemudian.
Pembangunan di daerah rawan gempa tektonik dan tsunami harus menganut visi jangka panjang. Pemerintah daerah setempat harus mengubah tata ruang Banda Aceh dan Meulaboh yang kawasannya terlanda tsunami hingga 3,5 km. Daerah yang terkena tsunami dijadikan taman kota dan dihutankan. Sedangkan daerah permukiman dipindahkan ke daerah yang aman. Dalam Konferensi Khusus para Pemimpin ASEAN Pasca-Gempa Bumi dan Tsunami yang diselenggarakan di Jakarta, diputuskan untuk membangun jaringan sistem peringatan dini tsunami di kawasan Teluk Andaman.
Pemasangan peringatan itu harus dikaitkan dengan analisis pascagempa. Bila jajaran pulau mulai dari Simelue, Kepulauan Nicobar, hingga ke Kepulauan Andaman terangkat setelah diguncang gempa tektonik, maka ancaman gempa dan tsunami kemungkinan baru akan muncul lagi 200 hingga 300 tahun lagi. Laporan sementara menyebut, selain Simelue, Nicobar juga terangkat tiga meter. Bila semua pulau itu terangkat, itu artinya ancaman sudah lewat di kawasan itu.
Kini, yang justru harus mendapat perhatian adalah pulau-pulau di sebelah selatan Simelue. Jaringan pemantau dan peringatan dini gempa bumi dan tsunami harus dibangun di bagian selatan pulau di Aceh itu. Dan kalau dibangun sistem peringatan dini tsunami harus yang memiliki kecepatan penyampaian datanya di bawah 10 menit begitu gempa muncul. Hal ini dikaitkan dengan jarak pertemuan lempeng samudera relatif dekat dengan daratan Sumatera. Bila gempa tektonik terjadi di Mentawai, maka dalam waktu 10 menit gelombang pasang yang ditimbulkannya sudah sampai di Padang.
******
Meneliti sesar dan zona subduksi Sumatera menuntut pengetahuan dari beberapa disiplin ilmu terkait seperti geologi, geofisika, dan seismologi. Ilmu itu semua telah dimilikinya. Setelah menyelesaikan S1 geologi dari ITB, Danny melanjutkan program master geologi di Universitas Auckland Selandia Baru. Selama delapan tahun di AS berbagai studi ditempuhnya, bukan hanya master geofisika dan doktor geologi, ia juga mempelajari ilmu tentang tsunami, seismologi, cara penggunaan GPS untuk melihat pergerakan lempeng, serta meneliti karang guna mengetahui sejarah gempa.
Menguasai berbagai ilmu itu memudahkannya berkomunikasi dengan para ahli di bidang itu. Dengan begitu ia dapat memberikan masukan untuk pembuatan model pembangunan dan simulasi kejadian yang sesuai dengan kondisi kegempaan yang ada. Sayangnya, bicara tentang disiplin geologi dan geofisika, lulusan sarjana di dua bidang tersebut, di Indonesia sekitar 90 persennya hanya meminati ilmu yang berkaitan dengan pertambangan, terutama minyak dan gas, suatu bidang “basah” yang menjanjikan pendapatan melimpah. Sedangkan penelitian tentang gempa bumi dan gunung berapi yang berisiko tinggi menjadi lapangan kerja yang gersang.
Apresiasi yang rendah bagi para ahli gempa dan kurangnya perhatian pada bencana oleh pemerintah menyebabkan rendahnya minat masyarakat pada bidang ini. Lapangan kerja yang berkaitan dengan penelitian gempa bumi dan tsunami belum terbuka lebar. Tapi ini harus diciptakan, antara lain lewat penetapan peraturan pembangunan suatu wilayah. Untuk mengembangkan suatu wilayah harus didahului dengan analisa bencana, tidak cukup hanya Amdal. Keluarnya peraturan ini memungkinkan
terciptanya lapangan kerja di bidang analisis bencana alam, yang dapat menyerap ahli geologi dan geofisika.
Penyadaran dan sosialisasi tentang bencana alam harus dilakukan lewat kurikulum ilmu kebumian mulai dari tingkat SLTP bahkan SD. Selama ini yang diajarkan lebih ditekankan pada eksplorasi dan eksploitasi hasil bumi, dan kurang mengangkat hal yang berkaitan dengan potensi bencana dan upaya agar terhindar dari bencana itu. Upaya menularkan ilmu tentang gempa melalui jalur pendidikan dilakukannya dengan memprakarsai pembuatan kurikulum kuliah bencana alam di ITB tahun lalu. Pelajaran 3 SKS ini dapat diambil oleh mahasiswa tingkat 2 dan 3. Animo mahasiswa tergolong besar untuk mata pelajaran ini. Sekarang ini satu angkatan ada sekitar 30 mahasiswa yang mengikuti kuliah yang diajarkannya. Di almaternya itu ia juga memberi bimbingan mahasiswa S2.
Untuk meningkatkan penelitian kegempaan di Indonesia, Danny yang menghabiskan waktunya selama 3 bulan dalam setahunnya di lapangan akan mengajak peneliti asing dalam kegiatan penelitiannya. Namun ia tetap mengupayakan pendampingan dengan peneliti dari negeri sendiri. Hal ini dapat meningkatkan pengetahuan dan pengalaman tenaga ahli di Indonesia dan survei dan penelitian gempa tektonik.
Untuk lebih mendalami masalah kegempaan di kawasan barat Indonesia, saat ini ia tengah mempersiapkan program Riset Unggulan Terpadu Internasional (RUTI) untuk meneliti gempa dan tsunami di Sumatera. Penelitian selama tiga tahun ini akan melibatkan peneliti dari ITB, Caltech dan Washington State Univesity, dan Taiwan. Minatnya untuk mendalami masalah kebumian dan lingkungan tumbuh ketika anak kedua dari tiga bersaudara ini melewati masa kecilnya di Subang. Menjelajahi hutan karet di PTP 30 Subang tempat ayahnya, H Ahmad Natawijaya, bekerja, mendorongnya untuk menyukai tantangan di alam.
Sejak usia 5 tahun ia sudah ikut berburu di hutan dan bersama teman-temannya menjejahi hutan. Bila lapar dan kehabisan bekal mereka akan mencari buah-buahan atau akar-akaran, di antaranya raja goah yang dapat di makan. Bertualang di alam terus dilakoninya meski ia telah menetap di Bandung bersama keluarganya ketika ia menginjak usia SMP hingga lulus ITB. Bidang geologi di institut itu kemudian menjadi pilihannya di tingkat Sarjana Strata-1. Begitu lulus sarjana dengan tesis tentang Tektonik dan Stratigrafi tahun 1986, Danny lalu meniti karier di Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI.
Ke depan ia berencana untuk terus menekuni penelitian gempa sembari menularkan ilmu dan pengetahuan di almaternya. Pria yang mengidolakan Mahatma Gandhi ini menjalani hari-harinya dengan prinsip sederhana. “Saya hanya ingin bekerja dengan sebaik-baiknya. Bila sesuatu dikerjakan dengan segenap tenaga dan pikiran akan menghasilkan sesuatu yang positif.” Meskipun tergolong pekerja keras, lelaki kelahiran Subang itu sempat melakukan fitness dua hari dalam seminggu. Ia juga berburu, memancing, tenis, dan bulu tangkis.
Sumber : http://sarolangunjambi.wordpress.com/
0 komentar:
Posting Komentar